MENUMBUHKAN KESADARAN MORAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Memasuki
abad ke-21, kehidupan nyata masyarakat manusia masih tetap diliputi berbagai
macam konflik. Secara klasik, ada dua jenis konflik kepentingan yaitu antara
kepentingan umum keseluruhan masyarakat dan kepentingan khusus bagi setiap
individu. Ketika kepentingan umum tidak menyerap keberagaman tuntutan
individual dan ketika kepentingan individual mengganggu kepentingan umum, maka
pasti terjadi konflik. Misalnya, pembebasan tanah warga untuk pelebaran jalan
akan mengakibatkan konflik antara kepentingan individual dan masyarakat
keseluruhan, jika hak warga atas tanah itu dirampas begitu saja. Di era
teknologi komunikasi ini, komunikasi individual semakin mengglobal. Kemajuan
ekonomi material negara -negara maju, membuat silau orang-orang yang hidup di
negara-negara berkembang.
Mereka terinspirasi
untuk bisa berkehidupan dengan kelimpahan harta dalam waktu sesingkat mungkin.
Sementara itu, karena kualitas pendidikannya, mereka belum memiliki potensi
kreatif untuk menghasilkan kelimpahan ekonomi material. Jika kebetulan mereka
memperoleh kepercayaan menduduki jabatan dalam pemerintahan dan hukum, maka
atas kekuasaannya itu mereka secara berjamaah berbuat korupsi.
Kini,
tradisi konflik antara kepentingan individu dan masya rakat melemah dan bahkan cenderung tidak muncul
ke permukaan. Sedangkan yang muncul adalah konflik antar individu atau grup
untuk mendapatkan kekuasaan dalam pemerintahan. Proses demokratis untuk meraih
suatu kekuasaan semakin dikendalikan sepenuhnya dengan sistem “money
politics”. Sudah barang tentu, tidak menghasilkan pemimpin yang aspiratif
bagi kepentingan umum. Di sepanjang masa jabatanya, mereka hanya sibuk untuk
secara cerdik menciptakan kesempatan berkorupsi. Egoisme individual menjadi
watak para pe nguasa. Akibat daripadanya, terjadi krisis kepemimpinan. Jika
demikian halnya maka dinamika sosial untuk meraih tujuan umum melemah.
Apabila tradisi konflik kepentingan individu
dan masyarakat justru “meng -gairahkan” kehidupan bermasyarakat, maka gairah
itu kini berubah menjadi sebuah kesibukan yang menghabiskan energi
untuk memerangi para koruptor. Padahal mereka justru penguasa dalam
pemerintahan. Akibatnya, jalan menuju pencapaian tujuan umum menjadi “buntu”
total. Padahal, jika para penguasa memiliki komitmen moral dan etika yang kuat,
maka mengelola tradisi konflik kepentingan, justru memberi keuntungan bagi
seluruh individu dan masyarakat dan otomatis bagi para pemimpin.
Karena
di dalam diri individu terdapat potensi sosial dan di dalam masyarakat terdapat potensi
individual. Tetapi rupanya para pemimpin justru memanfaatkan tradisi konflik sosial itu sebagai alat
penyelamatan diri. Mereka seolah berwatak membela kepentingan umum, tetapi di
balik itu memanfaatkan untuk sebesar -besarnya bagi keuntungan pribadi mereka
sendiri. Dengan dalih efisiensi bahan bakar minyak, konsumsi minyak tanah
diganti gas tanpa didahului dengan pembelajaran; dengan dalih standardisasi
nasional, sistem evaluasi ujian akhir nasional diberlakukan; dan masih banyak
lagi proyek berlabel kepentingan umum, tetapi bermotif eksploratif bagi
kepentingan pribadi. Jadi, paradigma konflik sosial antara dua kepentingan
menjadi lebih rumit. Potensi individual yang terkandung di dalam individualisme
berubah menjadi negatif berupa keserakahan. Terlebih moral negatif keserakahan
itu menjadi watak para pemimpin dan pejabat pemerintahan. Potensi kesatuan yang
terkandung di dalam kolektivisme terpendam begitu dalam, sehingga semangat
kebersamaan tidak muncul ke permukaan. Kehidupan menjadi kering kerontang,
karena materialisme hedonistik watak nasional.
Bertitik
tolak dari hal tersebut di atas, pemikiran ini mencoba mencari kejelasan
kembali tentang hakikat manusia dan masyarakatnya, agar kemudian bisa menilai
kelayakan konflik antara individualisme dan kolektivisme di dalam kehidupan
bermasyarakat.
Menurut
filsafat moral (etika), masyarakat adalah suatu sistem komunikasi sosial antar
individu untuk mencapai tujuan bersama. Maka konflik antara kepentingan
individual (individualisme) dan kepentingan kolektif (kolektivisme) justru
menjadi potensi bagi eksistensi masyarakat. Oleh sebab itu, kunci persoalannya
terletak pada sejauh mana kesadaran moral dan etika menjadi watak perilaku
setiap individu. Jika kesadaran moral terbingkai dalam sistem norma-norma
perilaku sosial (etika), maka kedua kepentingan akan terselenggara secara
berkeadilan.
Metoda
analisa dan sintesa digunakan dalam pemikiran ini. Keduanya dipadukan secara
dialektik verifikatif, menjadi metoda analitiko -sintetik. Cara kerjanya,
mengurai o byek materi pemikiran untuk kemudian dirajut kembali menjadi suatu
bentuk (pengertahuan) baru. Misalnya analisis obyek tentang kepentingan
individual, menghasilkan ragam jenis, dan bentuk. Dari keberagaman itu ditarik
suatu benang merah sebagai sintesis, m enghasilkan pengetahuan baru berupa
kesejahteraan umum. Dengan tercapainya kesejahteraan umum, maka konflik sosial
tidak meledak merusak kehidupan masyarakat, tetapi justru mendorong dinamika
sosial ke arah kemajuan.
Obyek
manusia dan masyarakatnya adalah masalah perilaku baik individual maupun
sosial. Berdasarkan
pada sifat obyek, maka bidang filsafat perilaku (moral) atau etika menjadi
model bangunan kerangka pikir.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
antara lain sebagai berikut :
1.
Apa pengertian dari
moral dan etika ?
2.
Bagaimana pemikiran filosofis
tentang manusia dan masyarakat ?
3.
Bagaimana kesadaran moral sebagai
dasar etika bermasyarakat ?
4.
Bagaimana moral dan etika
bermasyarakat dalam pendidikan ?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah diatas maka dapat dirumuskan beberapa tujuan sebagai
berikut :
1.
Memahami pengertian dari moral
dan etika.
2.
Mengetahui pemikiran filosofis
tentang manusia dan masyarakat.
3.
Mengetahui kesadaran moral
sebagai dasar etika bermasyarakat.
4.
Mengetahui moral dan etika
bermasyarakat dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dari Moral dan Etika
Dalam
Webster’s New Collegiate Dictionary dijelaskan bahwa moral berakar dari bahasa
Latin“mos” atau “mores”, berarti costum, … “relating to
principles of right and wrong in behavior ”. Dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan “moralitas” ( Ensiklopedi Umum, 1977) yaitu “tata
tertib tingkah laku yang dianggap baik atau luhur dalam suatu lingkungan atau
masyarakat”. Jadi, moralitas kurang lebih berarti dorongan atau semangat batin
untuk melakukan perbuatan baik. Sedangkan etika, berakar dari bahasa Yunani, “ ethos”,
juga berarti kebiasaan atau watak.
Menurut
Franz Magnis Suseno (1991), “ajaran moral memuat pandangan-pandangan
nilai-nilai dan norma-norma moral yang terdapat di antara sekelompok manusia.
Norma moral adalah aturan tentang bagaimana manusia harus hidup supaya menjadi
baik sebagai manusia”. Sedangkan mengenai etika, ditandaskan bahwa “etika bukan
sumber tambahan moralitas melainkan merupakan filsafat yang merefleksikan
ajaran-ajaran moral”. Lebih lanjut, ditekankan bahwa “etika mempersoalkan
tentang mengapa kita harus mengikuti moralitas tertentu, bagaimana kita dapat
mengambil sikap yang bertanggung-jawab berhadapan dengan berbagai moralitas”.
de Vos (1987), mengatakan bahwa “etika adalah ilmu pengetahuan tentang
kesusilaan dan
moral. Sedangkan moral adalah hal -hal yang mendorong orang untuk melakukan
tindakan-tindakan yang baik sebagai kewajiban untuk norma”.
Dari
bentuk hubungan antara moral dan etika dapat dirumuskan bahwa moral lebih
bersifat abstrak universal, sedangkan etika lebih bersifat konkret khusus
(obyektif). Misalnya, “korupsi” adalah perilaku tidak bermoral, tetapi “ tidak
membayar pajak” (karena alasan tertentu) adalah perilaku tidak etis. Tetapi,
keduanya tetap mempersoalkan masalah yang sama, yaitu perilaku.
Kemudian,
dari pendekatan filsafat dan moral atau etika dapat disusun sebuah kerangka
pikir bahwa jika di dalam diri setiap individu tertanam kuat dorongan moral
untuk berbuat kebaikan, berarti mereka berada dalam satu ikatan moral di dalam
dunia kebersamaan. Di dalam satu keterikatan moral, mereka bermasyarakat
menurut prinsip etika normatif dalam mencapai tujuan bersama. Jadi tidak perlu
terjadi benturan konflik.
B. Pemikiran
Filosofis tentang Manusia dan Masyarakat
Berdasar
pada kerangka pikir di atas, sistematika pembahasan tentang manusia dan masyarakatnya,
diawali dengan pemikiran filosofis, dilanjutkan dengan pemikiran etika dalam kehidupan
bermasyarakat dan etika pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat. Khusus mengenai
pemikiran terakhir, dipandang perlu karena pendidikan adalah satu-satunya cara penanaman
nilai-nilai moral dan etika.
Mengenai
pemikiran filosofis tentang manusia, pada umumnya pandangan “Timur” menitikberatkan
sifat hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Ki Ageng Suryomentaram (1974) misalnya,
berpendapat bahwa: “manusia termasuk jenis yang cara hidupnya berkelompok, jadi
serupa dengan jenis lebah. Dalam kelompok, orang saling memberi dan mengambil
kefaedahan masing-masing. Tindakan tersebut dinamakan gotong-royong atau
kemasyarakatan. Adapun cara bertindak untuk saling memberi dan mengambil faedah
masing-masing adalah sebagai berikut, Misalnya tukang besi, pekerjaannya tidak
lain hanya memukuli besi, namun ia makan nasi, walaupun tidak menanam padi. Ini
hanya mungkin karena adanya saling memberi dan mengambil faedah masing-masing,
antara pak tani dan tukang besi”. Selanjutnya, dipertegas lagi bahwa “agar hidup
manusia itu dapat berlangsung, caranya adalah dengan jalan bermasyarakat. Bila
hidup menyendiri, yakni tanpa berhubungan dengan orang lain, maka orang tentu
mati, karena tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya”.
Penekanan
pada aspek sifat hakikat sosial tersebut, terkesan mengandung maksud agar
dengan demikian bahaya individualisme dapat dihindarkan. Karena, pandangan
individualisme dinilai cenderung “merugikan” kehidupan bersama. Kalau alasan
itu dikemukakan, rupanya tidak realistis, karena sama dengan kolektivisme, di
dalam konteks sosial individualisme juga memiliki posisi dan fungsi yang mutlak
menentukan terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat. Tanpa individu dengan
segala potensinya, kehidupan masyarakat tidak mungkin ada dan apalagi
berkembang.
Sebaliknya
tanpa masyarakat, individu tidak mungkin ada dan bisa mengembangkan diri. Individu
lahir dari masyarakat dan masyarakat terbentuk dari individu. Jadi,
individualisme menjadi berbahaya bagi kehidupan masyarakat ketika potensinya tidak
terserap bagi kepentingan sosial. Huijbers (1986), rupanya juga tidak bisa
menyetujui jika individualisme dinilai berbahaya bagi kehidupan bersama.
Menurutnya:
“bila manusia dipandang sebagai pertama-tama bersifat sosial, dirintis
pandangan bahwa manusia terutama merupakan bagian suatu kelompok, seperti seekor
domba dalam kawanan. Dan ini memang tidak benar. Manusia adalah pertama-tama
suatu pribadi individual”. Atas pendapatnya itu Huijbers mengajukan seperangkat
bukti bahwa: “peristiwa-peristiwa besar menimpa manusia sebagai pribadi individual,
yakni terjadi pada dia sendiri saja. Ia lahir sebagai pribadi individual. Sehat
atau tidak dikatakan tentang dia sebagai pribadi juga. Bahkan manakah hubungan
dengan sesama manusia tergantung pada manusia sebagai pribadi individual. Akhirnya
ketika manusia menjadi sakit keras dan mau mati, ia sendiri yang menghadapinya,
dan bantuan sesama manusia kurang berguna”.
Dari
sikap pandangnya, terlihat jelas bahwa Huijbers menitikberatkan manusia sebagai
pribadi individual. Keberadaan masyarakat tergantung pada hubungan ko-eksistensial
antar pribadi individual. Dari pemikiran kedua ahli tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa unsur-unsur hakiki kehidupan bermasyarakat adalah manusia
sebagai makhluk individu dan so sial. Dari kedua sifat hakikat itulah
berkembang paham individualisme dan kolektivisme. Jika dinilai secara obyektif,
kedua paham itu sama-sama mengandung kebenaran. Di dalam kebersamaan, setiap individu
berkomunikasi secara ko-eksistensial. Menurut posisi dan peran masing-masing
mereka saling mempengaruhi, sehingga secara bersama bisa menghayati kehidupan
dengan tanpa kehilangan jati dirinya. Justru di dalam sistem komunikasi ko
-eksistensial itulah setiap individu berkesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya.
Dalam waktu bersamaan, ketika setiap individu mencapai titik kepribadian, maka
dunia kebersamaan menjadi berkembang pula kharakteristik sosialnya.
Oleh
sebab itu menurut keberadaannya, sifat hakikat manusia adalah sebagai makhluk individu
yang memasyarakat dan makhluk sosial yang mengindividu. Perbedaan setiap
potensi individual mengendap di dalam keutuhan masyarakat; dan sebaliknya
keutuhan masyarakat tergantung pada sistem harmonisasi hubungan antar individu dengan
keragaman potensi masing-masing. Jadi dapat dipahami bahwa pada satu sisi,
kesempurnaan dunia hidup bersama tergantung pada optimalisasi pengembangan
kepribadian individu. Pada sisi berlawanan, kesempurnaan kepribadian setiap
individu tergantung pada kualitas sistem komunikasi yang berlaku di dalam dunia
kebersamaan. Tetapi, seperti telah diungkap di atas, fakta menunjukkan bahwa di
dalam kehidupan bermasyarakat selalu diwarnai suatu kekaburan yaitu mana yang
benar, apakah masyarakat diberi prioritas di atas individu atau individu yang diberi
prioritas di atas masyarakat. Terhadap kekaburan itu, Veeger (1986)
mengidentifikasi masalah bahwa: “dunia Timur menyalahi dan menggugat
individualisme Barat, sedang dunia Barat menyalahi kolektivisme Timur, di mana
individu tenggelam dalam masyaraka t dan tidak punya wajah sendiri”.
Terhadap
dikotomi paham kemasyara -katan itu, secara cerdas Veeger menunjukkan fakta bahwa:
“dari satu pihak kita melihat bahwa masyarakat terdiri dari individu-individu
yang masing-masing berpikir sendiri, berkemauan sendiri, berperasaan sendiri, berbadan
sendiri dan beralamat sendiri. Keanekaan dan keberbagaian adalah ciri masyarakat
yang menyolok. Dari lain pihak kehidupan bersama adalah pengalaman asli dari
tiap-tiap orang dan sering dirasa sebagai kekangan atas kebebasannya. Sejak
lahir ia ditampung ke dalam kelompok dan tanpa atau di luar kelompok itu ia
tidak dapat berkembang menjadi seorang pribadi. Ikatan dengan kelompoknya
adalah urat nadi hidupnya”.
Pemikiran
cerdas Veeger dapat diartikan bahwa secara eksistensial keterikatan individu dengan
masyarakatnya bukan berarti secara sepihak yang satu mutlak bergantung kepada
yang lain. Tetapi keterikatan relatif, saling bergantung antara satu dengan
yang lain. Setiap petani bergantung kepada seluruh masyarakat dan begitu
sebaliknya seluruh masyarakat bergantung kepada petani. Relativitas keterikatan
sosial itu berakar dari kesadaran bersama bahwa:
a. Didalam
kehidupan ini ada tujuan bersama yang harus diraih,
b. Untuk
mencapainya, harus dengan mengorganisir
kemampuan bersama
c. Karena
itu diperlukan sebuah organisasi sosial sebagai sarana manajerial untuk
mensenyawakan setiap kemampuan individual menjadi kemampuan sosial yang lebih besar
dan energik.
Jadi,
dapat disimpulkan bahwa kehidupan bermasyarakat adalah suatu sistem manajemen untuk
mengorganisir kemampuan individual menjadi sebuah kekuatan sosial, agar
kemudian tujuan bersama seluruh individu anggotanya dapat terwujud. Masyarakat
bukan hanya tempat berkumpul, melainkan suatu proses sosial di dalam mana
setiap individu mendapat ruang gerak untuk melakukan berbagai aksi sosial (social action). Masyarakat
memproses seluruh jenis pengertian, perasaan dan perilaku individual dalam
jumlah tak terbatas. Maka, muncullah suatu pemikiran bahwa seharusnya kehidupan
bermasyarakat itu berkeadilan.
C. Kesadaran Moral sebagai
Dasar Etika Bermasyarakat
Secara
langsung atau tidak langsung, moralitas dan etika hanya bisa berlaku secara
sempurna didalam kehidupan bermasyarakat. Orang yang hidup dengan mengisolir
diri di tengah hutan, seolah-olah tidak memerlukan moral dan etika. Tetapi
ketika mulai memanfaatkan sumber daya hutan, apalagi jka cara pemanfaatannya
cenderung merusak, maka perilakunya sudah masuk ke dalam lingkup moral dan
etika. Hal itu karena kelangsungan hidup dan kehidupan pada umumnya, termasuk
kehidupan bermasyarakat, mutlak bergantung pada keberadaan hutan. Karena
sifatnya universal, maka pemikiran kritis tentang moral dan etika lebih pada masalah
kesadaran moral, yang berkedudukan pada awal dari seluruh kegiatan hidup. Sadar
akan asal-mula dan tujuan kehidupan, maka manusia sadar tentang apa yang perlu
dilakukan dalam menjalani kehidupannya. Atas kesadaran moralnya, seseorang
terdorong untuk melakukan perbuatan yang baik dan bernilai guna bagi kelangsungan
dan tujuan hidup.
Selanjutnya,
agar kehidupan berlangsung hingga tujuan akhir, maka manusia harus mampu menyediakan
segala kebutuhan hidup. Sadar atas segala kekurangan dan keterbatasannya, seseorang
lalu menjalin hubungan dengan orang lain sesamanya. Adapun tujuannya tidak lain
adalah agar mereka bisa saling menutupi kekurangannya, dengan cara mengikat
diri dalam kebersamaan menurut sistem tertentu yang telah mereka sepakati,
sehingga terbentuk suatu kebersamaan di dalam sebuah organisasi sosial
kemasyarakatan. Atas kesadaran moralnya itu, setiap orang terdorong untuk
membangun potensi diri menjadi lebih otonom dan kreatif, agar kualitas kerja
sama menjadi semakin kuat. Jika dorongan itu berkembang, maka otomatis dinamika
kehidupan sosial ke arah kemajuan hidup berkembang pula.
Kemudian,
kesadaran moral juga berfungsi sebagai pengendali perilaku, sedemikian rupa sehingga
seseorang mampu berperilaku jujur menurut moralitas bersyukur (ketika
memperoleh sesuatu), bersabar (ketika mendapat ujian hidup) dan berikhlas
(ketika harus kehilangan). Sesungguhnya, kesadaran moral itu selalu ada di
dalam diri setiap orang. Hanya saja sering kali terhalang oleh nafsu negatif
yang mendorong suatu perbuatan dilakukan. Nafsu adalah baik, tetapi ketika
tidak terkontrol oleh akal dan tanpa pertimbangan rasa, maka lalu berubah
menjadi kejahatan. Kepada para penjahat, koruptor dan kawan -kawannya
sekalipun, jika ditanya “mengapa melakukan kejahatan korupsi?”. Maka atas
kesadaran moralnya, jawaban mereka pasti juga tidak bisa menyetujui
perbuatannya itu. Mereka cenderung menyesali perbuatan, tetapi kesadaran moral
hanya bisa terbentuk melalui kehidupan keluarga yang terdidik, kualitas pembelajaran
di sekolah dan kehidupan masyarakat yang berbudaya. Seluruh proses itu, kemudian
membentuk suatu kepribadian bermoral dan beretika di dalam hidup bermasyarakat.
Van
Peursen (1990), filsuf Belanda yang sangat tertarik pada persoalan kebudayaan
menunjuk “kualitas pribadi” sebagai kunci dari daya dorong hidup. Antara lain
dianjurkan: “setiap pribadi harus beraksi terhadap realitas, situasi nyata dan
terhadap tantangan-tantangan yang ada. Di samping itu, setiap pribadi harus
bersifat kreatif dalam segala keputusannya, dengan bersikap menyesuaikan diri
dalam perubahan kehidupannya maupun terhadap tuntutan yang beruba-ubah dari
suatu periode baru dalam sejarah atau dalam kebudayaan yang berbeda”.
Dari
anjurannya itu, Van Peursen menunjuk potensi kreatif sebagai ciri penting
kepribadian manusia. Dengan daya kreatif, seseorang mampu bersikap arif dalam
bere aksi terhadap realitas kehidupan yang sarat perubahan. Kreativitas rupanya
dinilai sebagai daya dalam memahami sesuatu apa sebenarnya yang menjadi
tuntutan perubahan. Oleh karena itu, dengan kreativitas itu pula seseorang mampu
menyesuaikan diri terhadap segala perubahan yang sedang dan bahkan yang akan
terjadi. Karena kreativitas adalah sumber daya perubahan itu sendiri, maka di dalamnya
terkandung potensi dialektik-futuristik. Ketika suatu perubahan dicipta, bisa
menangkap apa saja yang bakal berubah di masa datang.
Pada
dasarnya, sebagai komponen kesadaran moral, daya kreativitas ada secara
menginti di dalam tujuan hidup, dorongan hidup dan kecakapan hidup. Artinya,
untuk mencapai tujuan hidup, maka harus ada kreativitas yaitu suatu kecakapan
dan ketrampil an dalam membuat perubahan. Setiap perubahan berfungsi sebagai
dorongan ke arah tujuan hidup. Pada hakikatnya, kreativitas selalu cenderung
mencipta perubahan untuk kemajuan, karena itu pula mengandung nilai.
Secara
keseluruhan, sistem nilai adalah suasana moralitas manusia yang harus dipertanggung
jawabkan secara etis di sepanjang kehidupan. Di dalam kehidupan bermasyarakat,
setiap orang harus berpedoman pada norma-norma etika, menurut kesadaran moral,
karena mereka akan selalu diperhadapkan dengan masalah hak dan kewajiban.
Apakah karena hak, sesuatu itu dilakukan atau sebaliknya karena telah
menjalankan kewajiban lalu mendapatkan hak. Keduanya mengandung nilai kebenaran
sederajat. Pada keadaan mapan (stability), hak mendahului kewajiban,
tetapi pada titik dinamika, bisa jadi kewajiban mendahului hak. Atas
kepemilikan secarik sertifikat tanah, adalah wajib (karena hak) baginya untuk
menjaga dan mengelola sebidang tanah tersebut, tetapi ketika yang berhak tidak
memenuhi kewajiban mengelola sebidang tanah itu, maka berati ia kehilangan hak.
Dalam kondisi seperti ini, hak atas sebidang tanah itu bisa beralih kepada
orang lain yang telah mengelolanya bertahun-tahun. Fakta selalu berpihak pada
hukum positif.
Tarik-menarik
antara hak dan kewajiban semakin tidak be rimbang ketika korupsi merajalela di dalam
kehidupan sosial. Dalam kondisi sosial seperti itu, moral dan etika terpola
menjadi bersifat egoistik dan altruistik. Ketika tuntutan hak individual berupa
perilaku korup, maka moral dan etika individual berubah menjadi egoistik yang
mutlak merusak harmoni tata kehidupan masyarakat. Sebaliknya, ketika tuntutan
hak masyarakat terlalu kuat, maka moral dan etika berubah menjadi altruisme
kolektif (komunistik) yang mutlak mengancam hak dan kebebasan individual.
Oleh
sebab itu, hanya ada satu jalan rekonstruksi sosial yaitu “revolusi moral”,
tentu melalui jalan pendidikan bukan melalui jalan pertumpahan darah. Seluruh
komponen pendidikan (formal, informal, dan non-formal) mutlak perlu mengelola
proses pembelajaran ke arah titik puncak piramida yaitu membangun kesadaran
moral. Karena, dengan kesadaran moral, maka dunia bathin menjadi dinamis
bergerak ke arah perilaku jujur, penuh kesyukuran, kesabaran dankeikhlasan.
Jika kesadaran moral tumbuh, maka norma -norma etika dan aturan hukum positif akan
mudah ditaati oleh siapapun (terutama para pemimpin). Berarti pintu gerbang
kesejahteraan umum terbuka lebar.
Jadi,
kesadaran moral memiliki kekuatan memposisikan dan memfungsikan segala potensi individual
untuk “social eforcement”, sedangkan masyarakat difungsikan sebagai
sistem proses mencapai kesejahteraan umum. Oleh karena itu tidak perlu lagi
terjadi saling menyudutkan antara paham individualisme dan kolektivisme. Justru
dengan kesadaran moral, kebebasan dan kreativitas individual mendapat saluran
yang tepat, dan sebaliknya kolektivisme bisa mendapatkan jati dirinya di dalam
kehidupan bermasyarakat.
D. Moral
dan Etika Bermasyarakat dalam Pendidikan
Sejak
lahir, manusia menyandang sifat labil. Meski di dalam sifat labil terkandung
potensi dinamis, tetapi jika tidak mendapat binaan secara tepat justru bisa
merusak kehidupan. Di balik kelabilan itu terlihat jelas bahwa pendidikan
menjadi tuntutan kodrat manusia. Manusia siapapun, di manapun berada, sampai
kapanpun wajib berpendidikan di dalam menghadapi setiap peri kehidupannya. Dari
sisi pendidikan, dalam kehidupan bermasyarakat terkandung sistem interaksi
menyatukan dalam bentuk saling didik -mendidik antara pihak yang satu dengan
yang lain untuk mencapai tujuan bersama. Di balik fakta itu, ada keberagaman potensi
individual.Seseorang yang lebih menguasai bidang tertentu, wajib mendidik yang
lain dan sebaliknya ia harus siap untuk mendapat didikan orang lain yang lebih
menguasi bidang yang berbeda.
Fakta
ikatan sosial saling mendidik, menunjukkan bahwa di dalam pendidikan terkandung
benih moral, berupa dorongan sosial setiap orang untuk saling berbuat baik.
Dengan sistem hubungan ko-eksistensial saling mendidik, berarti nilai kebenaran
menyebar dan berkembang sehingga kehidupan bermasyarakat menjadi dinamis ke
arah kemajuan. Hal itu berarti di balik dorongan moral saling mendidik juga
menunjukkan adanya keadilan sosial. Kemudian, nilai keadilan sosial itu di
dalam pendidikan dikembang -kan menjadi suatu sistem filsafat perilaku yaitu
etika.
Seorang
tokoh pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara (Hasbullah, 2001) mengartikan pendidikan
yaitu: “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak -anak, agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan d an
kebahagiaan yang setinggi-tingginya”.
Adapun
kekuatan kodrat dimaksud, tampaknya lebih berada pada tiga potensi kejiwaan
rasa, cipta dan karsa. Pembinaan ketiga potensi kejiwaan, diyakini bisa
menumbuhkan nilai keadilan, sehingga bisa mencapai baik keba hagiaan individual
maupun sosial di dalam kehidupan bermasyarakat. Sehubungan dengan pendapat
tersebut, Suhartono (2006), secara filosofis menjelaskan bahwa pendidikan
adalah persoalan tentang sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pematangan
atau pencerdasan tiga potensi kejiwaan manusia yaitu rasa, cipta dan karsa.
Karena itu, ruang lingkup pendidikan mencakup tiga hal yaitu:
1. Pencerdasan
spiritual,menumbuhkan kesadaran tentang asal mula, tujuan, dan eksistensi
kehidupan,
2. Pencerdasanintelektual,
membina kemampuan akal agar mampu memecahkan setiap persoalan yang muncul di
sepanjang kehidupan,
3. Pencerdasan
moral, membimbing setiap perilaku agar selalu bernilai bagi tujuan kehidupan.
Jika
pendidikan berhasil membina ketiga kecerdasan tersebut, maka seorang individu
menjadi terdidik. Orang yang terdidik memiliki kesadaran tentang dari mana asal
mula dan tujuan kehidupan. Berdasar kesadaran itu, manusia harus kreatif dan
produktif dalam menjalani kehidupan dan mau bersikap dan berperilaku adil di sepanjang
hidupnya. Jadi nilai-nilai moral dan etika perlu ditanamkan di dunia pendidikan
dan dikembangkan di dalam kehidupan sosial pada umumnya. Sebagai sistem,
masyarakat seharusnya berkharakteristik mendidik agar dinamika sosial
berkembang menurut dorongan moral (hati nurani individual) dan nilai-nilai etika.
Karena, dengan jiwa mendidik berarti setiap pihak bermoral belajar, dan hanya
dengan belajar suatu kemajuan dapat diraih. Sedemikian rupa sehingga setiap
individu sadar atas kewajiban sosial apa yang harus dilakukan demi keutuhan masyarakatnya,
dan masyarakat secara etis bertanggung jawab atas kewajiban setiap individu
itu. Itulah landasan dasar pendidikan untuk mendirikan sebuah masyarakat
terdidik, masyarakat berbudaya yang berkeadilan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesadaran
moral yang kuat mendorong kreativitas untuk berproduksi secara terkendali menurut
norma-norma etika ke arah terbentuknya kehidupan masyarakat berkeadilan. Oleh
sebab itu, tiga pilar moralitas dan etika tersebut wajib ditanam dibina dan
dikembangkan di dalam diri setiap individu melalui pendidikan keluarga,
pendidikan sekolah dan pendidikan bermasyarakat. Jika berhasil, maka konflik
kepentingan antara paham individualisme dan kolektivisme justrumenjadi energi
sosial untuk mendorong pertumbuhan kehidupan masyarakat berkeadilan. Di dalam
masyarakat berkeadilan, setiap individu mendapat keleluasaan berdinamika untuk mengoptimalkan
potensi dirinya menjadi seorang individu berkepribadian ideal. Sebaliknya, dengan
demikian otomatis masyarakat menemukan jati dirinya yaitu sebagai suatu sistem manajemen
sosial.
B. Saran
Dalam upaya untuk meningkatan
kesadaran moral pada masyarakat yang paling penting adalah dari segi
pendidikan. Bahwa di dalam pendidikan terkandung benih moral,
berupa dorongan sosial setiap orang untuk saling berbuat baik. Dalam pendidikan
akan diajarkan mengenai berbagai nilai, norma, moral dan etika yang dapat di
aplikasikanya pada kehidupan sehari-hari. Dan ketika kita ingin menumbuhkan
kesadaran moral pada masyarakat mulailah dari segi pendidikan dan
kepercayaan (agama).
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
Ensiklopedia Umum (Yogya-karta: Yayasan Kanisius, 1997).
de
Vos, H, Pengantar Etika (Yogya-karta: Tiara Wacana, 1987).
Driyarkara,
N.Sj, Filsafat Manusia (Yogyakarta: Kanisius, 1969).
Hasbullah,
Dasar-dasar Ilmu Pendidik-an (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
Horald,
M. Titus, Living Issues in Philosophy (New York: American Book Comp.,
1959).
Huijbers,
Theo, Manusia Merenungkan Dirinya (Yogyakarta: Pustaka Filsafat,
Kanisius, 1986).
Lacey,
A.R, A Dictionary of Philosophy (New York: 1976).
Merriam
Websters, Webster’s New Collegiate Dictionary (Springfield,
Massachusett, USA,
1979).
Peursen,
van, Fakta, Nilai, Peristiwa (Ja-karta: Gramedia, 1990).
Russell,
Bertrand, Human Society in Ethics and Politics (London: Allen and Anwin,
1954).
Suhartono,
Suparlan, Dasar-dasar Filsafat (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004).
Suhartono,
Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogya-karta: Ar-Ruzz, 2005).
Suhartono,
Suparlan, Filsafat Pendi-dikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006).
Suryomentaraman,
Ki Ageng, Filsafat Rasa Hidup (Jakarta: Idayu, 1974).
Suseno,
Franz Magnis, Etika Sosial (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991).
Veegers, K.J. Realitas Sosial (Jakarta:
Gramedia, 1986).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar